Pages

Jun 7, 2020

Romansa Imajinasi

    Akhirnya jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Hari yang cukup melelahkan karena harus mengajar beberapa praktikum. Aku kemudian duduk dahulu di lab yang sudah kosong bersama beberapa teman yang juga bersiap-siap untuk pulang.
        "Penuh juga yah hari ini", datanglah seorang temanku yang juga habis mengajar.
        "Lumayanlah,"
        "Nanti kelas gak?"
        "Ikutlah baru awal ga baik untuk skip"
    Jam 6 sore merupakan waktu untuk belajar lagi di sekolah pascasarjana. Aku dan temanku tersebut memang teman sekelas juga di sekolah pascasarjana.
        "Mahal juga yah ongkir jam sore gini" Kata temanku sambil menggunakan gawainya.
        "Jam pulang kerja sih, kenapa gak bareng gue aja? Bawa mobil kok"
        "Yakin nih boleh nebeng? Boleh banget kalo gitu, kenapa baru sekarang nawarin tebengan?"
    Aku pun hanya dapat mengangkat kedua bahuku karena aku sendiri tidak tahu mengapa. Gedung tempat kami mengajar dan sekolah pascasarjana memang tidak satu dan berjarak cukup jauh. Kira-kira sekitar 3-4km dengan kemacetannya. Akhirnya kami pun segera berkemas dan berjalan ke mobilku yang diparkir di sebuah apartement karena parkiran kampus sarjana hanya untuk pekerja tetap di sana.
        "Suka lagu yang gimana?" Tanyaku sebari memanaskan mobil.
        "Bebas, terserah yang nyupir aja."
        "Okelah kalo gitu, gue puterin playlist di Spotify gue aja."
        "Coba sini gue liat kalo gitu isi playlist-nya."
    Dia pun mengambil gawaiku yang terhubung bluetooth ke pemutar lagu di mobil. Dia melihat dengan cukup seksama dan aku pun cukup menjamin 80% isi lagunya ia tidak pernah dengar sebelumnya.
        "Lagu-lagu apaan ini?"
        "Lagu-lagu yang beneran lagu."
        "Beneran lagu?"
        "Ya.. gak kaya lagu sekarang gitu-gitu doang dan gak bisa didenger."
        "Gitu yah"
    Kami pun berangkat dengan lagu-lagu yang dipasang dari playlist yang hampir setiap hari aku dengarkan. Kami berdua kebanyakand diam, dia lebih sering bermain dengan gawainya. Sore menjelang malam ini cukup mendung dan jalanan pun seperti biasa cukup macet. Jarak yang seharusnya dapat ditempuh hanya dalam 15 menit dengan mobil pun menjadi 45 menit. Namun hal ini sudah menjadi hal yang sangat biasa. Hampir 10 tahun aku rasakan jalanan seperti ini semenjak menimba ilmu di tempat yang jauh dari rumah.
        "Kenapa gak bawa motor aja?" Tanyanya secara tiba-tiba.
        "Karena ngak bisa bawa motor"
        "Kenapa gak belajar?"
        "Karena gak dibolehin sih sebenernya. Lagian skill gue nyupir di atas rata-rata orang sih."
        "Masa?"
        "Biasanya orang yang gue supirin bisa tidur dengan tenang. Salah satu indikator seorang supir yang baik ya begitu."
    Mungkin dia menganggap aku orang yang cukup aneh. Kami memang bukan teman dekat. Saat sekolah sarjana, meski satu angkatan dan di tempat yang sama kami tidak kenal. Kami hanya saling tahu. Barulah setelah lulus dan mengambil di sekolah pascasarjana yang sama kami baru kenal namun tidak juga dekat.
    Kira-kira 40 menit kami sampai tujuan dan tidak terlalu banyak mengobrol lagi. Kelas pun berlangsung kira-kira 2,5 jam. Selama di kelas aku hanya mendengarkan dan mencatat beberapa hal yang menurutku penting. Sudah lama aku terbiasa untuk tidak mencatat segala hal yang diberikan karena biasanya hanya membuang-buang kertas dan tenaga, terlebih karena aku malas saja sebenarnya. Metode dengan Power Point seperti sekarang membuatku malas mencatat dan lebih baik meminta materi tersebut atau mengunduh materi yang diunggah di web pascasarjana saja. Setelah mengunduhnya baru aku cetak dan membubuhkan beberapa catatan penting di cetakan tersebut.
    Selama di kelas pun aku memperhatikan beberapa orang yang tidak lebih dari 15 orang untuk kelas sore ini. Tidak ada yang familiar, hanya temanku saja yang juga mengajar praktikum di sekolah sarjana yang aku ketahui. Setelah kelas selesai aku menghampirinya.
        "Pulang sendiri?"
        "Iya, udah mesen ojek online juga kok, harganya udah pas."
        "Okelah kalo begitu, hati-hati yah"
        "Lu juga hati-hati."
    Percakapan tersebut hanyalah sekedar basa-basi saja. Setelah itu kunyalakan mobil dan langsung pulang sambil menikmati jalanan malam yang sudah cukup sepi. Jika jalanan sepi begini aku cenderung untuk melambat dan menikmati perjalanannya. Setelah sampai dan bersih-bersih aku langsung makan malam dan beranjak ke kasur untuk membuka gawai hanya melihat-lihat beberapa hal yang mungkin saja ada hal penting untuk dilihat. Ternyata tidak ada seperti biasa dan aku pun langsung memejamkan mata. Keesokan paginya kegiatan yang sama pun berlangsung. Pagi hingga sore aku mengajar dan malam belajar.
    Sebulan kemudian di mana kami hampir setiap hari pergi bersama ke sekolah pascasarjana.
        "Liat lagi Spotify dong. Gue pilih lagu yah sekarang."
        "Sok aja asal jangan lagu-lagu dugem deh"
    Ia cukup lama melihat-lihat lagu di Spotify, dan tiba-tiba dia bertanya lagi.
        "Lah suka anime juga?"
        "Gak se-wibu itu juga sih cuman beberapa aja."
        "Gue puter 'One Summer Day; deh"
    Ternyata ia melihat-lihat playlist lainnya yang aku buat. One Summer Day merupakan sebuah lagu yang sangat familiar dengan telinga. Mendengarnya saja langsung dapat mengingat adegan-adegan di anime 'Spirited Away' dengan sangat baik.
        "Habis itu shuffle aja tuh." Mengingat isi playlist yang terdapat lagu itu memang enak untuk didengar di sore yang gerimis ini. Namun aku pun penasaran akan sesuatu.
        "Lu suka anime emang?"
        "Gue suka baca manga dan fangirling gitulah."
        "Wibu dong?"
        "Ya gak ampe begitu juga kali."
        "Tumben nemu orang kaya lu suka anime."
        "Ya.. oke gue ini judgemental like an asshole, dan kadang gue suka nebak-nebak kepribadian orang atau kesukaan orang. Biasanya bener sih, gak biasa sih jarang benernya. Nah orang kaya lu biasanya gak suka begituan menurut pengalaman gue yah. But maybe I was wrong."
        "INTJ yah?" Katanya sambil tertawa.
    16 personality dan aku memang seorang INTJ. Perjalanan sangat macet dan sudah 40 menit belum mendekati tujuan kami berdua. Memang kondisi gerimis yang cukup deras ditambah jam pulang kantor bukan sebuah kombinasi yang menyenangkan di mana kita harus berkendara terutama dengan mobil. Untungnya dosen kami memberikan sebuah pesan bahwa kelas akan diundur. Aku pun menebak pasti ia terjebak kemacetan pula menuju ke sana. 
    Kami pun menjadi lebih lama di mobil dan mendengarkan lebih banyak lagu lagi.
        "Lama-lama terbiasa juga denger lagu beginian sering-sering." Katanya, ketika lagu-lagu yang biasa didengarkan kembali terputar harsil shuffle tersebut.
        "Ya memang bagus lagunya."
        "Kalau gak sekali denger sih."
        "Begitulah kata beberapa orang."
        "Dan siapakah beberapa orang tersebut?"
        "Yang juga sering nebeng mobil ini."
    Dia sedikit memincingkan matanya dan sedikit berpikir.
        "Pacar dong?"
        "Ya dulu, sekarang udah ngak."
        "Gue kira orang kaya lu gak mungkin pacaran."
        "Orang kaya gue gimana?"
        "Orang sedingin, secuek dan gak suka keluar rumah kaya lu."
        "Ya ada saatnya gue ingin pacaran dan kebetulan nemu yang cocok dulu tapi sekarang udah ngak."
        "Menarik juga ada yang mau sama lu."
        "Jangan meremehkan yah"
        "Coba ceritain dong mantan lu gimana."
        "Kapan-kapan deh males bahas mantan."
        "Sepertinya masih menyimpan rasa nih?" Pertanyaan yang aku jawab dengan mengubah topik pembiacaraan. 
    Sepertinya pun dia mengerti aku mencoba untuk mencari topik yang lain. Kami pun seperti biasa mengobrol berbagai hal. Sebulan sering mengobrol bersama membuat aku cukup akrab dengannya. Menyupir di tengah kemacetan bukanlah hal terbaik yang ada. Menahan emosi dengan berbagai manusia bodoh yang ingin cepat-cepat dan membunyikan klakson meski mereka tahu tidak akan ke mana-mana. Untungnya dengan ada orang yang menumpang aku lebih dapat mengendalikan emosi ketimbang menyupir sendirian.
    Ketika menyupir sendirian aku cenderung lebih berani melakukan manuver dan lebih ngebut. Mungkin karena berpikir aku tidak memiliki tumpangan dan yang ada di dalam mobil hanyalah satu buah nyawa saja. Jika ada penumpang lain di mobil, aku merasa memiliki tanggung jawab untuk melindungi satu nyawa lagi. Hal tersebut kadang membuatku berpikir pekerjaan seperti pilot, nahkoda, masinis, bahkan seorang supir pun merupakan pekerjaan yang tidak mudah karena memegang begitu banyak nyawa.
    Setelah melewati jalanan yang padat kami pun sampai pukul 18.12, dan benar saja dosen kami pun belum menunjukkan keberadaannya di kampus pascasarjana ini. Kami pun langsung masuk kelas, mengeringkan sedikit badan yang terkena percikan air hujan dan mulai mempersiapkan diri untuk kelas. Botol minum yang merupakan hadiah ulang tahunku ke-20 selalu diletakkan di atas meja, beserta dengan tempat pencil yang juga merupakan hadiah ulang tahun ke-18 dengan isi yang sangat standar. Pulpen tinta hitam, biru, merah, dua buah pensil kayu, sebuah pensil mekanik, penghapus, dan kalkulator.
    Dosen pun datang jam 18.40. Ia langsung mengeluarkan laptop dan menyambungkannya dengan kabel proyektor. Tanpa basa basi ia langsung memberikan materi. Ternyata materinya sendiri tidaklah banyak. Hanya sekitar satu jam ia berceramah di depan kelas dan memberikan tugas untuk dikumpulkan secara daring dan kelas pun selesai jam 20.00.
    Di luar kelas sepertinya orang-orang belum mau pulang karena hujan bertambah deras. Aku pun berinisiatif menghampiri temanku.
        "Bisa pulang ngak?"
        "Hujan gini ongkosnya naik dua kali lipet."
        "Mau gue anter aja ngak?"
        "Ngak usah deh ngerepotin lo nanti."
        "Santai ajalah, dah malem gini jalanan juga lebih sepi pasti."
        "Serius nih ngak apa-apa?"
        "Iya selo aja."
    Aku pun membuka payung yang sudah kubawa untuk berjaga-jaga dan kami pun segera masuk ke dalam mobil. Sesampainya di mobil seperti biasa aku memanaskan mobil sebelum beranjak pergi. Kegiatan yang wajib dilakukan setidaknya 3 menit untuk mendapatkan performa dan pengalaman mengemudi yang menurutkan enak. Selagi memanaskan mobil dia tiba-tiba bertanya.
        "Mau makan dulu ngak? Baru jam segini juga."
        "Boleh aja sih. Mau makan apa?"
        "Karena gue bukan orang sini, dan lu asalnya dari sini mungkin bisa memberikan rekomendasi."
        "Oke, mau makanan yang mahal, murah, atau sedeng?"
        "Yang menurut lu belom pernah gue cobain deh."
        "Makan yang murah aja deh malem ini. Kapan-kapan gue ajak ke tempat yang gue suka."
        "Oke."
    Mobil pun langsung kujalankan ke sebuah tempat makan di tenda yang tidak terlalu jauh. Bahkan berada di tengah-tengah antara kampus pascasarjana beserta dengan apartemen temanku tinggal. Tempat makan ini merupakan salah satu tempat yang biasanya kubeli ketika aku sakit. Ada seorang dokter yang berpraktik di depannya. Saat kecil aku sering ke dokter karena daya tahan tubuh yang sangat lemah dan nasi uduk di depan dokter tersebut pun sering kubeli sepulang dari dokter. Untuk ukuran rasa sangat enak jika dilihat dari harga yang harus dibayarkan. Value merupakan hal yang sangat penting untukku.
        "Enak juga yah." Katanya sembari memakan makanan yang dipesannya.
        "Ya lumayanlah, dulu gue sering banget ke sini soalnya. Seringnya ke sebrang sana tuh." Sambil menunjuk tempat praktik dokter yang ada di sebrang jalan.
    Setelah selesai menyantap makanan tersebut, hujan belum juga reda. Jam pun sudah menunjukkan pukul 21.00. Kami pun segera kembali ke mobil dan aku masih memiliki tugas untuk mengantarkannya kembali ke apartemennya. Jalanan memang sudah sepi. Ditambah dengan hujan yang deras pasti membuat orang lebih memilih untuk segera pulang dan tidur. Hanya butuh 15 menit untuk mengantarkannya pulang. Sesampainya di apartemen dia menawariku untuk mampir dulu namun aku memutuskan untuk langsung pulang. Jalanan malam ditambah dengan hujan membuatku ingin segera sampai di rumah. Sebenarnya jalanan seperti ini mengingatkanku akan beberapa kenangan yang tidak ingin aku ingat-ingat lagi. Sesampainya di rumah, aku membersihkan badanku, mengecek gawai dan ternyata ada pesan masuk dari temanku yang berkata terima kasih atas tumpangannya. Aku memutuskan tidak membalasnya dan langsung tidur.
---
    Beberapa hari berselang dan kebetulan di suatu siang kami berdua berada di ruangan tempat asisten berkumpul. Kami tidak ada jadwal mengajar siang itu. Untung saja aku membawa buku yang belum sempat kubaca. 'A Brief History of Time' , karya dari Stephen Hawking.
        "Berat amat bacaannya." Katanya sambil bermain gawai yang dipegangnya.
        "Ini ibarat PR yang harus diselesaikan sih. Bermain game tetep jalan tapi otak harus tetep dapet nutrisi biar main gamenya makin jago."
        "Mana ada kaya gitu."
        "Ya terinspirasi dari salah seorang youtuber ngaco aja sih."
        "Maksudnya?"
        "Ya dia itu otaknya rada aneh, suka main game, tapi tetep baca buku. Sebulan sekali dia ada segmen Book Review dan merekomendasikan buku-buku untuk kita baca."
        "Aneh amat ada begituan."
        "Kalau lu suka baca buku apa?"
        "Gue lebih suka baca komik sih, terus novel juga suka tapi yang romance, atau fantasi-fantasi gitu. Buku-buku motivasi juga gue suka bacanya tuh. Terus gue juga suka fangirling."
        "Wibu sih."
        "ENAK AJA!" Sambil membuat ekspresi cemberut.
        "Eh nanti sore ngak ada kelas kan yah?"
        "Yap."
        "Makan yuk ke tempat yang lu suka itu?"
        "Boleh aja sih."
    Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke salah satu tempat favoritku untuk ngobrol sebenarnya. Tempat ini cukup tua. Biasanya jarang ada anak muda yang datang ke tempat ini. Kebanyakan orang tua mengajak anaknya kemudian anaknya akan mengajak keluarganya kelak. Meskipun ramai, namun kebisingan tempat ini terkendali dengan baik sehingga tetap bisa mengobrol dengan enak. Untuk makanannya pun cukup enak. Tipikal makanan Indonesia yang enak dan ada beberapa menu western. Terutama bitterballen, makanan khas Belanda yang terbaik yang pernah aku rasakan. Selain itu es krimnya adalah es krim terbaik menurutku. Jika di deskripsikan es krim di sini memiliki varian rasa yang unik dan tekstur yang sangat lembut. Selain itu es krim di sini adalah buatan rumah sendiri sejak dahulu kala. Kami langsung memilih kursi di pinggir dekat jendela dan memesan beberapa makanan.
        "Enak juga yah tempatnya buat ngobrol."
        "Yup makanya gue sering banget dateng ke sini."
        "Sama siapa?"
        "Bisa sendiri, bisa sama temen, tergantung."
        "Sendiri? kasian amat. Keliatan kesepiannya."
        "Bodo amat."
        "Dan temennya itu pasti temen spesial kan yah?" Tanya dia sambil seperti berusaha mengolok aku.
        "Ya begitulah."
        "Coba dong ceritain tentang mantan lu."
        "Tidak ada yang menarik sebenernya. Cuman berakhir dengan tidak enak aja sih."
        "Berakhir karena apa?"
        "Ya singkatnya kurang cocoklah."
        "Kalo versi panjangnya?"
        "Ngak ada panjangnya."
        "Huh! Nyebelin banget sih gamau cerita." Katanya sambil terus memakan es krim yang dipesannya. Es krim berwarna hijau dan merah muda. Sementara aku sendiri memesan es krim mocha dan vanila yang selalu aku pesan setiap datang ke sini.
        "Nah kalau lu sendiri ada cerita apa?" Tanyaku.
        "Cerita?"
        "Ya kaya percintaan lu gimana?"
        "Gak ada yang menarik sih." Katanya, namun aku merasakan sedikit perubahan pada raut mukanya.
        "Well, kalau mau cerita silahkan aja." Kataku dengan datar.
    Tidak ada tanggapan. Namun ia melihatku dan tersenyum begitu saja. Kami pun mengobrol beberapa hal yang tidak penting sebenarnya untuk dibahas. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 20.30 dan aku pun segera membayar makanan yang kami pesan dan pulang untuk mengantarkannya.
        "Eh lu bisa masak kan?" Katanya tiba-tiba di dalam mobil.
        "Ya bisa tapi gak jago-jago amat. Kenapa?"
        "Minggu depan kan kosong lagi nih, masak yuk?"
        "Tapi gak janji enak dan gak pede gue masakin buat orang."
        "Ya ngak apa-apalah asik kayanya!" Katanya dengan riang.
        "Boleh deh. Belanjanya mau bareng?"
        "Oke. Abis ngajar yah belanja bareng kita!"
    Sebuah keceriaan yang sudah lama tidak aku rasakan dari orang lain terhadap diriku sendiri. Kekosongan yang cukup lama ini seperti mematikan hatiku sendiri. Aku pun sangat malas untuk memikirkan hal tersebut dan selalu menganggap hal ini baik-baik saja.
---
    Siang ini sangat panas. Lebih panas dari biasanya. AC di ruangan asisten aku nyalakan pada mode paling dingin. Rasa panas ini justru membuat seluruh badan terasa lemas dan membuatku mengantuk. Tiba-tiba temanku datang dan sengaja mengetuk meja untuk membangunkanku.
        "Woi bangun!! Dah beres nih gue. Mau sekarang?" Katanya. Aku pun teringat bahwa hari ini kita akan masak bersama di apartemennya.
        "Oh iya! Yuk sekarang aja."
    Kami pun pergi ke mobilku dan langsung pergi ke sebuah supermarket yang cukup terkenal di kota ini. Supermarket ini terkenal karena menjual berbagai barang import atau bahan masakan yang jarang ada di tempat lain. Selain itu harga yang ditawarkan pun sangat masuk akal. Ditambah adanya sebuah toko kopi yang enak membuatku cukup sering duduk-duduk di sini sehabis pulang kuliah. Tepat dibelakang supermarket ini pun ada sebuah restoran bertema Jepang yang menjual donburi terbaik sekota ini. Tempat makan favorit ketika dulu masih bersamanya.
        "Lu mau dimasakin apa?" Tanyaku.
        "Mmmm..." Sambil berjalan dia berpikir.
        "Kalau masakan Jepang gimana?"
        "Boleh tuh, terserah chef aja deh" Katanya sambil tersenyum.
    Aku memilih makanan Jepang karena aku suka dan mudah untuk dibuat. Aku langsung memilih beberapa bahan utama mulai dari daging salmon yang akan di-grill, pasta sup miso yang sudah siap sedia bersama topping-nya, beberapa sayur seperti wortel, kol, dan daun bawang serta bumbu teriyaki untuk salmonnya. Untuk makanan penutup kami memutuskan hanya akan membeli es krim karena sejujurnya aku sendiri tidak suka makanan manis.
    Sesampainya di apartementnya aku langsung membongkar isi belanjaan kami. Aku memasukan belanjaan-belanjaan tersebut. Es krim langsung aku taruh di lemari pendingin. Sementara bahan lainnya disiapkan di dapur kecil apartement tersebut. Karena udara yang sangat panas aku langsung membuka kemejaku. Untungnya setiap hari aku selalu membawa baju ganti untuk berjaga-jaga kena hujan. Temanku pun langsung ke kamar mandi untuk mengganti baju yang basah dengan keringat.
    Selagi ia bersih-bersih, aku mulai memarinasi salmon teresebut dengan garam dan merica. Kemudian memotong-motong daun bawang, kol, dan menyerut wortel tersebut dan dimasukan ke dalam air es. Tujuannya adalah agar rasanya lebih segar dan menghilangkan bau menyengat di bawang daunnya ketika dijadikan teman makan bersama salmon tersebut. Aku mengencek nasi sudah siap, lalu kompor pun langsung dinyalakan untuk memanggang salmon tersebut. Proses memanggang salmon tidaklah lama karena seleraku bukan salmon yang sepenuhnya hingga kering. Tapi kulitnya harus sampai kering sementara sisi lain aku masak hanya mendapatkan warna saja.
    Setelah selesai dengan salmon, aku memanaskan bumbu teriyaki lalu menuangkannya ke salmon. Kuhias sedikit dengan daun bawang untuk memperindah penampilan. Air pun aku masak untuk menyeduh sup miso instan untuk dua porsi. Seluruh proses tersebut sangat cepat. Tidak sampai 20 menit berlalu dan temanku masih di kamar mandi. Sepertinya dia mandi atau mungkin buang air besar.
    Tidak sampai satu menit dia keluar dan meminta maaf karena mandinya kelamaan. Kami pun langsung mengambil nasi dan menyantap masakan yang aku buat. Katanya masakanku enak dan dia sangat suka makanannya.
        "Makanan Jepang itu simpel, tapi enak. Rasanya yang keluar itu natural dari bahan-bahannya"
        "Kayanya segala sesuatu lu pikiran yah."
        "Yep, kebanyakan yang gak penting sih."
    Ia hanya membalas dengan senyuman. Setelah selesai makan, kami bersih-bersih bersama. Kebanyakan ia yang membersihkan karena bilang udah dimasakin tadi. Lalu kami pun memakan es krim kami sambil mengobrol di sebuah sofa yang terkena AC.
        "Belajar masak dari mana?"
        "Dari Youtube"
        "Mama lu jago masak pasti?"
        "Mmmm, jagonya baru 4 taun belakangan sih abis pensiun sebelumnya gak pernah masak."
        "Hebat juga yah, gak pernah masak tapi pas masak enak."
        "Mungkin bakat kali."
        "Bener juga sih."
        "Tuh koleksi buku gue." Sambil menunjuk pada tumpukan buku-bukunya.
        "Banyak juga." Aku pun melihatnya dengan cukup seksama."Banyaknya motivasi yah."
        "Iya. Kenapa gitu?"
        "Gak apa-apa cuman males baca buku motivasi."
        "Bagus kali buku motivasi."
        "Bagus sih, cuman gue pernah denger lebih baik yang fiksi, jadi kita nemuin pesan cerita itu sendiri tergantung dari pengalaman kita. Lebih banyak artinya"
        "Denger dari siapa?"
        "Youtuber. Btw, lu suka foto-foto yah?" Sambil mencari topik pembicaran.
        "Iya. Liat dari IG gw yah?"
        "Iyap. Mau jalan-jalan abis UAS?"
        "Beneran?" Katanya dengan riang.
        "Iya. Penat juga gini-gini terus sih."
        "Yuk! Tapi jangan kelamaan ntar keburu balik gue."
        "Ya.. hari Senin atau Selasa deh setelah minggu UAS."
        "Boleh banget tuh. Lu ada kamera juga kan?" 
        "Ada. Cuman sekedar hobi doang sih gak sejago lu juga motonya."
    Aku lihat jam sudah jam 4 sore. Aku memutuskan untuk pulang sebelum para orang yang bekerja pulan juga dan memenuhi jalanan.
        "Tunggu.." Katanya ketika aku ingin membuka gagang pintu.
        "Ada apa?"
        "Mmm.. gak jadi nanti aja."
    Aneh. Kataku dalam hati.
---
    Suatu sore tidak lama dari acara memasak bersamanya. Aku baru selesai memberikan pelajaran tambahan bagi beberapa anak yang mau saja. Hujan di luar cukup deras dan gedung tempatku mengajar sangat sepi. Aku segera membereskan ruangan dan menguncinya. Aku menunggu sejenak di luar gedung berharap hujan sedikit reda namun sepertinya tidak menunjukkan tanda-tanda untuk reda. Aku mengeluarkan payung kecil berwarna hitam yang selalu ada di tas. Mengenakan jaket parasut berwarna biru kesayanganku dan mereseletingnya sampai atas. Daripada menunggu lebih baik segera pulang dan ganti sendal di mobil pikirku. Sudah kebiasaan semenjak aku bisa menyupir sendiri, aku pasti membawa kaos oblong, kaos kaki, jaket cadangan yang jarang digunakan, dan sandal di mobilku untuk digunakan pada saat-saat seperti ini.
    Hujan sangat deras ternyata sehingga celana bagian bawah terkena air hujan dan sepatu sudah tidak terselamatkan lagi. Angin yang berhembus pun cukup besar dan dingin. Ditambah memang sudah jam 5 sore sehingga langit pun sudah mulai gelap. Ketika berjalan keluar dari gerbang utama kampus, aku seperti melihat seseorang yang aku kenal. Ternyata temanku yang sedang duduk dibawah halte. Mungkin menghindar dan menunggu hujan?
        "Mau bareng?" Aku menawarkan. Namun tidak ada jawaban darinya. Matanya basah. Aku memutuskan untuk menutup payungku dan ikut duduk di sebelahnya. Aku melihat kendaraan menerjang derasnya hujan dengan lampu yang menyala. Ada beberapa mahasiswa yang juga berlarian menerjang hujan dengan payung mereka. Adapun anak kecil dari pemukiman sekitar yang memang padat malah bermain-main dengan air hujan. Sepertinya menyenangkan untuk menjadi anak-anak tanpa memikirkan segala persoalan hidup.
    Dia masih bergeming, diam, dan kepalanya tertunduk lesu. Ketika melihat badannya sepertinya ia kedinginan. Ia hanya mengenakan kaos yang sedikit basah terkena air hujan, celana jeans, sendal dan tas yang berukuran tidak terlalu besar. Aku segera melepaskan jaket dan aku memberikan jaketku padanya. Namun karena sepertinya tidak akan ada balasan, aku berinisiatif untuk mengenakan pada pundaknya saja. Setidaknya angin tidak terlalu langsung kena pada tubuhnya.
        "Maaf." Katanya lirih.
        "Emm?" Aku pun bingung mengapa ia meminta maaf.
        "Jadi nemenin gue di sini."
        "Daripada lu diculik berabe ntar."
        "Ada-ada aja." Katanya dengan tersenyum yang aku pikir pasti ia paksakan.
        "Yuk pulang?"
    Kami pun berdiri dan kami pun mulai berjalan sambil aku memegani payung. Secara reflek tanganku yang satunya memegang tangannya. Aku sendiri tidak berpikir saat itu. Dia pun memegang tanganku dengan cukup erat. Apartemen dia berada di bagian bawah kampus kami, sehingga arus air yang turun ketika hujan deras memang sangat besar, dan sepatuku semakin basah saja. Berjalan sekitar 10 menit dan akhirnya sampai ke apartemennya. Kami pun langsung masuk dan mengeringkan badan kami. Ia langsung mengganti bajunya. Sementara aku membuatkan teh hangat untuknya.
        "Nih gue buatin teh."
        "Makasih. Maaf jadi ngerepotin."
        "Nyantai aja." Reflek gue pun melihat jam. Hampir jam 6 sore.
        "Boleh nemenin gue bentar? Gue lagi gak pengen sendiri."
        "Boleh sih, sekalian nunggu rada maleman juga."
    Aku pun duduk di sofa yang ia duduki juga. Sofa tersebut pas untuk ukuran dua orang dengan meja di depannya. Udara memang sangat dingin malam ini. Kuambil teh yang kubuat juga dan kuminum langsung karena benar-benar merasa dingin. Tiba-tiba dia mengambil selimut berukuran sedang dan membawanya ke sofa. Kami pun mengenakannya. Ditemani air hujan yang sangat deras di luar sana. Pundaku tiba-tiba terasa berat. Ternyata ia menyenderkan kepalanya dipundakku. Entah perasaan apa yang kurasakan ini.
        "Kalau mau cerita, ceritain aja." Kataku padanya.
        "Lu pasti tau kan ceritanya?"
        "Mmmm, Kalau belum langsung dari sumbernya sih belum tau ke-valid-annya."
    Kami pun terdiam lagi untuk waktu yang cukup lama. Hujan masih deras namun berkat teh dan selimat, dan posisi kami berdua, di mana dia menyenderkan kepalanya di pundakku dan memegang erat tanganku membuat badanku sendiri menjadi lebih hangat.
        "Gue gak peduli juga sih dengan apa yang terjadi dan apa yang lu laluin. Yang gue tau adalah lu salah satu temen baik gue, dan gue nerima lu apa adanya." Lalu aku melanjutkan, "Intinya, kalau ada orang bermasalah sama lu, gue gak punya alasan buat ikut campur dan ikut-ikutan mempermasalahkan hal tersebut dengan lu."
    Aku mendengar seperti suara isakan tangis. Sepertinya dia menangis lagi. Sudah lama tidak terjebak dalam kondisi seperti ini kataku dalam hati. Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi sebelumnya, dan sebenarnya aku memiliki sebuah tebakan yang cukup baik. Tapi sepertinya aku tidak terlalu ingin tahu juga yang sebenarnya. Biarlah dia bercerita sendiri kalau mau pikirku, karena tebakanku bahwa ini adalah hal yang cukup sensitif.
    Jam sudah menunjukkan hampir jam 8 malam. Waktu memang cepat. Seperti kata Einsten mungkin, waktu itu relatif. Apa yang aku rasakan ini adalah kondisi di mana waktu berjalan begitu cepat karena mungkin saja aku menikmati momen ini. Kadang aku merasa waktu itu tidak adil, jika momen yang menyenangkan waktu terasa sangat cepat. Namun, aku pikir lagi bahwa hal ini tidak baik dipikirkan karena ini adalah salah satu variabel yang tidak bisa aku kendalikan.
    Kulihat dia yang tertidur dipundakku. Seketika aku menghela nafas karena sebenarnya aku pun cukup mengantuk. Kuelus kepalanya entah mengapa. Ya entah mengapa kulakukan hal itu. Pelan-pelan kuletakkan kepalanya di sofa, dan menyelimutinya. Aku memandanginya sebentar, dan aku tersenyum seketika. 
    Takut mengganggu tidurnya aku segera membereskan barang-barangku dan bergegas untuk pulang tanpa membuatnya terbangun. Setelah sampai mobil aku memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Sambil menghubungkan Spotify, aku mencoba mencari lagu. Kupikir lagu-lagu dari Yellowcard akan enak untuk menemani perjalan malam ini. Hujan masih turun namun tidak deras, jalanan pun relatif sepi sehingga aku dapat menyupir dengan santai. Aku seperti ingin sendiri untuk berpikir saat itu. Maka kuputuskan untuk mengambil jalan yang lebih jauh untuk pulang, namun jalanannya lebih enak untuk berpikir terutama pada malam hari. Hari yang cukup aneh.
---
    Keesokan paginya aku bangun cukup pagi. Jam 6 kurang sudah bangun padahal mengetahui hari ini tidak perlu melakukan aktivitas apapun. Aku segera membuka gawaiku dan mendapati ada sebuah pesan belum terbaca. Setelah kubuka ternyata pesan darinya.
    "Makasih banget udah mau nemenin gue kemaren. Gatau kenapa gue lagi jelek banget moodnya. Maafin juga yah udah buat lu pulang malem padahal harusnya bisa cepet, dan maafin gue belum bisa cerita. Untuk mengganti semua itu, gimana kalau gue traktir lu kopi kapan-kapan?" Begitu bunyi pesan darinya.
    Aku segera membalasnya. "Ngak usah dipikirin. Boleh juga tuh mungkin pas kita pergi foto-foto nanti? Gue kasih tempat ngopi terbaik di kota ini. Btw, semoga hari lu menyenangkan setelah meluapkan emosi lu."
---
    Minggu ujian pun selesai dan tiba hari di mana aku sudah berjanji untuk mengajaknya pergi untuk foto-foto. Aku cukup menunggu hari ini untuk melepaskan penat berada di kota saja dan pergi untuk melihat-lihat pemandangan. Kujemput dari rumah jam 7 pagi, dan sesampai di apartemen dia sekitar jam 8 kurang. Jalanan pagi memang cukup membuat emosi di mana semua orang seperti terburu-buru. Kalau begitu kenapa tidak pergi lebih bagi, bangun lebih pagi, dan tidur lebih cepat. Sepertinya manusia memang tidak bisa bijaksana membuat pilihan yang bahkan simpel sekalipun.
    Ketika aku ketuk pintunya dia masih bersiap-siap, dan aku pun memutuskan untuk duduk di sofa. Dia sepertinya sedang memilih-milih baju dan sebagainya.
        "Lu bawa kamera juga?" Tanyanya padaku.
        "Iya, lu bawa juga?"
        "Iya dong udah lama juga ngak dipake ini. Yuk dah beres gue."
    Kami pun langsung berjalan menuju mobilku dan pergi menuju tempat tujuan tersebut. Tempatnya sebenarnya tidak jauh. Hanya sekitar 40 menit dengan mobil dalam keadaan lancar. Ya waktu itu relatif. Bagiku 40 menit diperjalanan adalah waktu yang singkat karena hampir setiap hari aku harus menempuh waktu tersebut dalam keadaan macet. Bahkan aku pernah pulang dalam keadaan sangat macet dan memakan waktu hampir 2 jam padahal jaraknya tidak lebih dari 15km.
    Udara di dataran tinggi memang sangat menyenangkan. Terutama ketika masih pagi-pagi dan belum banyak pengunjung. Kami pun menghabiskan waktu untuk berforo-foto dan menjelajahi tempat tersebut. Tempat itu bisa terbilang sebuah tempat wisata baru karena memang masih tahap pembangunan. Namun hampir 80% sudah jadi kalau dilihat-lihat. Banyak berbagai bunga-bunga langka, burung-burung yang unik dan juga binatang-binatang menggemaskan lain menurut banyak orang. Ada beberapa wahana kecil juga yang dapat dilalui.
    Kamera tidak pernah lepas dari tangannya dan ia terus memotret berbagai hal. Aku pun sama sepertinya dan terkadang aku malah memotret dia yang sedang memotret. Seni memang tidak mengenal batasan kan? Lagipula aku hanya memotret untuk hobi saja dan tidak terlalu menekuninya. Kadang aku melihat hasil foto orang dan mencoba menirunya. Meski tahu bahwa foto yang kulihat pasti sudah melalui tahap editting. Justru tantangannya adalah mendapatkan foto tersebut tanpa proses editting. Setelah kucoba berbagai cara, sepertinya cukup mustahil.
    Hampir 3 jam kami menjelajahi berbagai tempat yang ada di sana. Cuaca sangat bagus pada siang ini. Matahari bersinar malu-malu ditutupi awan-awan putih sehingga tidak terlalu panas untuk berjalan-jalan. Kami sangat kelelahan, saat itu dan kami pun duduk di bangku terdekat yang ada. Aku melihat sebuah toko yang menjual minuman ringan dan aku pun membeli dua minuman.
        "Makasih minumannya. Cape juga yah. Udah lama ngak jalan kaya gini."
        "Mungkin lu harus mulai olahraga."
        "Mungkin yah."
    Kami pun terdiam. Tidak lama ia menyenderkan kepalanya lagi dibahuku.
        "Makasih yah waktu itu."
        "Masih dibahas aja."
        "Ya ngak apa-apa dong. Ngomong-ngomong gak apa-apa kan kaya gini?"
        "Gak apa-apa sih."
        "Waktu itu kan gue lagi sedih, gue mau tau kalau lagi seneng kaya gimana. Biar adil" Katanya sambil tertawa kecil.
    Tidak terasa sudah jam 12 lebih. Kami pun memutuskan untuk turun lagi ke kota dan mencari makan. Sesuai janjinya untuk mentraktir kopi sekaligus makan siang, aku ajak dia ke tempat kopi favoritku. Dengan makanan yang juga enak dan juga tempat yang sangat nyaman. Setelah sampai dan memilih tempat duduk, aku langsung memesan Kopi Sumatra. Dibandingkan dengan Kopi Jawa Barat yang katanya terenak sedunia, aku lebih menyukai Kopi Sumatra. Sulit untuk aku jelaskan mengapa karena aku sendiri bukan ahli kopi. Hanya penikmat saja, dan aku lebih bisa menikmati Kopi Sumatra. Tanpa gula.
        "Emang enak yah kopi item begitu?" Tanya dia sambil melihat kopi yang baru saja sampai.
        "Cobain aja. Bukannya lu pernah ke Starbucks juga?"
        "Ya gak kopi juga sih. Lagian gue mendingan minuman manis kaya boba-boba."
        "Candil maksud lu?"
        "Hah? Candil? Boba. Tapi bener sih kaya candil kalau dipikir-pikir setelah lu ngomong."
        "Nih cicipin minuman surga."
    Dia meneguk sedikit kopi yang aku pesan. Sesuai dugaan, raut mukanya berubah 180 derajat.
        "Enak kan?" Kataku sambil tertawa.
        "Apanya yang enak! Pait kaya gitu!"
        "Ini tuh ada artinya."
        "Apa tuh?" Tanyanya sambil meminum teh yang ia pesan.
        "Kata temen gue, kopi tuh dibuat pahit biar kita merasakan pahitnya hidup kaya gimana."
        "Lah udah tau pahit ngapain masih nyari pahit?"
        "Biar ngak lupa."
    Makanan kami pun datang. Tidak banyak kata kami pun langsung menyantapnya karena memang sudah lapar sejak pagi belum makan. Ya aku bukanlah orang yang bisa sarapan. Aku tidak mengerti bagaimana seseorang memiliki nafsu makan saat pagi hari. Di pagi hari, aku cenderung diam, mengumpulkan nyara dan pikiran, dan hanya meminum teh manis saja.
        "Enak yah! Tempatnya juga nyaman banget!" Katanya setelah selesai makan.
        "Iyap. Tempat favorit gue itu emang gak pernah salah."
        "Sombong amat."
        "Dari sananya."
    Kami pun hanya mengobrol ringan setelah itu dan benar-benar lupa waktu. Tiba-tiba saja lampu di parkiran sudah dinyalakan yang menandakan hari sudah mulai gelap. Aku melihat jam tangan yang tidak pernah aku lupa untuk pakai dan benar saja sudah hampir jam 6 sore. Lama sekali mengobrol di sini. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang saja. Aku segera mengantarkannya ke apartemen dia dan dia memintaku untuk naik terlebih dahulu ke kamarnya.
        "Ada apa?" Kataku setibanya tiba di kamarnya.
    Tiba-tiba ia memelukku begitu saja. Pelukan yang erat dan sudah lama tidak kurasakan. Aku sempat terdiam sejenak. Ruangan itu begitu hening. Dengan sadar kedua tanganku ikut memeluknya. Tangan kananku mengelus-elus kepalanya dan tangan kiriku dilingkarkan pada pinggangnya. Sebuah kehangatan yang sudah lama tidak kurasakan.

----------------------------------------------

    Cerita yang ternyata cukup panjang tersebut hanyalah sebuah mimpi-mimpi, imajinasi-imajinasi romansaku yang kemungkinan terjadinya hanya 1% di dalam hidup ini. Atau bahkan lebih kecil lagi. Subjek-subjek pun terserah. Aku bukanlah aku. Bisa saja menjadi pembaca. Dia pun bisa jadi siapapun. Semua orang memiliki kerapuhannya sendiri. Wanita dan laki-laki itu sama rapuhnya. Sebuah kebohongan bila kita katakan bahwa laki-laki jauh lebih tangguh dari wanita.
    Menulis setelah 1 tahun 6 bulan. 2019 merupakan tahun yang menyenangkan dan aneh. Kelulusan dan menyandang gelar Sarjana Teknik di belakang namaku merupakan sebuah kebanggaan. Tidak banyak hal buruk dan menjadi pikiran pada tahun lalu. Tidak seperti 2018 yang penuh emosi dan aura tidak baik dalam hidupku. Pada 2019, aku lebih bijak dalam berbagai hal. Lebih bijak dalam berpikir. Lebih bijak dalam memilih masalah hidup. Lebih bijak juga untuk berani meninggalkan.
    2020 merupakan tahun yang aneh dengan adanya pandemi. Berbagai pilihan hidup yang tadinya kusesali, namun ternyata hal tersebut membuahkan hasil yang tidak kusesali sama sekali. Masih tinggal di kota yang sama semenjak lahir. 2018 aku membencinya dan ingin meninggalkannya. Namun aku sadar bahwa kota ini adalah sebuah kisah yang indah dan aku harap hidup mengizinkanku untuk tetap mengukir kisah di kota ini.
    Tentunya lagu-lagu Yellowcard masih menemani hari-hariku terutama ketika pikiran ini sedang berkelana. Mungkin kalian harus mencoba Empty Apartment Acoustic.
~KGrahadian :)